Tulisan
ini merupakan refleksi dari perkuliahan filsafat ilmu dengan Prof. Marsigit
pada tanggal 18 November 2015. Perkuliahan yang dimulai pada pukul 07.30 WIB di
ruang PPG 1 Lab. FMIPA UNY diawali dengan tes jawab singkat. bertemakan spiritualisme,
materialisme, dan formalitas dari rumus.
Setelah
itu, perkuliahan dilanjutkan kembali dengan tanya jawab. Ada beberapa
pertanyaan yang diajukan dalam forum tersebut. Pertanyaan pertama diajukan oleh
saudara Edi Wahyudi. Ia menanyakan mengenai etnomatematika. Kemudian Prof.
Marsigit menjawab bahwa etnomatematika itu adalah pembelajaran matematika
berbasis budaya. Etnomatematika merupakan
pembelajaran inovatif yang dapat memperkaya fondasi pendidikan matematika serta
harus berorientasi pada siswa. Jika gurunya otoriter dan berpikir untuk memberikan
ilmu sebanyak-banyaknya, maka tidak akan bisa dilaksanakan dan harus ada
perubahan mindset dalam diri guru.
Pertanyaan
selanjutnya diajukan oleh Rusi Ulfa. Pertanyaan yang diajukan yaitu mengenai bagaimana
hubungan antara mitos dan stigma. Prof. Marsigit pun menjawab bahwa riwayatnya
manusia lahir sudah ada mitos. Mitos itu yang mestinya dipikirkan tetapi tidak
dipikirkan. Misalnya kalau zaman dulu bidadari turun ke bumi dari langit
bentuknya adalah pelangi, jadi menurut orang Yunani Kuno pelangi adalah
jembatan, namun setelah dibuktikan bahwa pelangi merupakan pembiasan sinar
melalui air atau uap air, mitos tersebut berubah menjadi ilmu pengetahuan.
Setiap hari kita mengalami mitos, tetapi jika kita memikirkan mitos menjadi
pengetahuan, mitos akan berubah menjadi logos. Mitos bersifat relatif bukan
absolut. Orang yang merasa sudah jelas akan suatu hal akan terancam oleh mitos
karena ia berhenti. Mitos itu sifatnya bermilyar-milyar. Kadang-kadang orang
menjadikan mitos sebagai terminal mencari solusi sementara. Seperti gerhana
bulan karena dimakan raksasa. Agama
bukan mitos karena tidak perlu dipikirkan, misalnya berdoa sampai khusuk,
tetapi gama bisa berubah
menjadi mitos. Seperti memunda shalat karena pekerjaan. Di dalam doa tidak dipikirkan
pun sudah merupakan ibadah. Ternyata hidup kita ini adalah interaksi antara
mitos dan logos. Setengah logos, setengah mitos, anehnya kalau setengah +
setengah = 1 dalam matematika. Kalau dalam filsafat setengah logos + setengah
mitos + setengah iman dan keyakinan. Kalau anda hanya vatal saja, hanya berserah
diri saja, itu adalah setengahnya dunia, dan setengah dunia yang lain
berikhtiar. Mitos itu adalah karena ketidakpahaman dimensi yang berbeda
memahami dimensi yang lebih atas. Kalau kita tidak paham ruang dan waktu, kita
akan menjadi orang yang bodoh.
Selanjutnya,
pertanyaan datang dari saudari Anissa. Pertanyaannya adalah apa perbedaan
skeptisime dan pyrrhonisme. Menurut Prof. Marsigit, itu suatu rangkaian hanya
beda zaman. Jadi, filsafat itu aliran pikiran para filsuf itu pikirannya
mengalir begitu saja, seperti hermeneutika. Hermenetika itu filsafat
kontemporer namun fenomenanya sudah ada sejak zaman dulu. Jadi orang ragu-ragu
itu sudah ada sejak zaman Yunani kemudian diekspos oleh Rene D karena tidak
mampu membedakan mimpi dan kenyataan. Inti sarinya meragukan yang ada dan yang
mungkin ada dan mencari kepastian apa yang pasti termasuk agama pun diragukan.
Hermeneutika itu saya tambahkan ada dialektika. Hati-hati juga karena filsafat
ada juga batasnya.
Setelah
itu, saudara Anwaril mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan pertanyaan
sebelumnya. Pertanyaan yang diajukan yaitu apakah hermeneutika boleh kita
terapkan dalam konteks agama. Prof. Marsigit pun menjawab bahwa semuanya itu
tergantung ruang dan waktu, konteksnya. Prof. Marsigit pun ketika mendefinisikan
hermeneutika ada perkembangannya, karena adanya pertambahan pengalaman. Hidup
itu fenomenanya lengkap, pilarnya menukik, regular atau rutinitas, mengembang.
Orang barat itu linear, hanya menerjang saja sampai dimanapun akan dikejar,
maka bijaksana orang barat itu adalah orang yang mencari sampai kemanapun.
Namun hidup itu tidak seperti itu, hidup itu adalah rutinitas, selasa ketemu
selasa, rabu ketemu rabu, gambarnya kurva seperti spiral namun tetap, itu
tempat kita mensyukuri karunia Tuhan. Hidup itu perlu di bangun membangun yang
ada dan yang mungkin ada. Jadi, kadang-kadang kita tidak sadar sedang membangun
metode hermeneutika. Membangun yang berhasil adalah tetap dan kontinu. Penyakit
manusia itu penyakit parsial, karena manusia terbatas dan tidak sempurna.
Pertanyaan
terakhir datang dari saudari Diana. Pertanyaannya adalah apa hubungan pantheisme
sama theisme. Jawaban dari Prof. Marsigit yaitu theisme itu percaya pada Tuhan
kalau pantheisme itu Tuhannya satu. Orang jepang memiliki Tuhan yang banyak,
ada Tuhan laut, Tuhan gunung, dsb. Tapi kita juga sesungguhnya tidak menyadari
sudah mempunyai Tuhan yang banyak, Tuhan mobil, Tuhan uang, dsb. Secara
psikologi, sesuatu yang disukai secara berlebihan menjadi Tuhan. Materialisme
adalah aliran yang tidak percaya Tuhan. Dia berusaha ekstrim, belajar dari fenomena
alam dan berhenti pada fenomena alam, maka materialisme hakekat kebenarannya
ada di dalam materi.