Tulisan ini merupakan refleksi dari perkuliahan filsafat
ilmu dengan Prof. Marsigit pada tanggal 21 dan 28 Oktober 2015.
Perkuliahan yang dimulai pada pukul 07.30 WIB di ruang PPG 1
Lab. FMIPA UNY diawali dengan tes jawab singkat. Pada tanggal 21 Oktober 2015,
tes yang dilakukan bertemakan wadah dan isi. Sedangkan untuk tanggal 28 Oktober
2015, tes yang dilakukan bertemakan spiritualisme, materialisme, dan formalitas.
Setelah itu, perkuliahan dilanjutkan kembali dengan tanya
jawab. Ada beberapa pertanyaan yang diajukan oleh kami dalam forum tersebut,
dan dari pertanyaan-pertanyaan tersebut ada satu keterkaitan antara jawaban
Prof. Marsigit terhadap pertanyaan yang diajukan pada tanggal 21 Oktober 2015
dan pada tanggal 28 Oktober 2015 yaitu mengenai sopan santun dalam berfilsafat.
Pertanyaan pertama diajukan oleh Rusi Ulfa pada tanggal 21
Oktober 2015. Ia menanyakan mengenai apakah dalam filsafat ada yang membahas
mengenai salah pengambilan keputusan. Kemudian Prof. Marsigit menjawab bahwa salah
atau benar itu hanya satu titik kecil dalam filsafat dan perhatiannya juga ada
tapi bukan satu-satunya. Benar dan salah itu sebanyak pikiran para filsuf
sebagai nilai dan pedoman. Benar dan salah juga merupakan hal yang ada dan hal
yang mungkin ada yang menjadi kajian filsafat. Salah dalam filsafat adalah
tidak sesuai dengan ruang dan waktu. Kita harus adil terhadap yang ada dan yang
mungkin ada sesampai dengan pikiran kita. Jadi, salah memutuskan adalah tidak
sopan terhadap ruang dan waktunya yang ada dan yang mungkin ada.
Selanjutnya pada tanggal 28 Oktober 2015, pertanyaan
diajukan oleh Tria Utari yang menanyakan mengenai bijak pada diri seseorang.
Prof. Marsigit kemudian menjawab bahwa bijak itu adalah diriku sesuai dengan
ruang dan waktu. Menurut filsafat barat, sebenar-benarnya bijak adalah
pengetahuan itu sendiri. Namun filsafat timur kemudian menambahkan bahwa bijak pun
harus disertai hati nurani. Seseorang yang bijak berarti seseorang yang sopan
terhadap ruang dan waktu. Sopan terhadap ruang dan waktu itu adalah
pengetahuan, karena seseorang tidak akan bisa berlaku sopan tanpa mengetahui
terlebih dahulu, seperti orang yang ingin bersopan santun di jalan raya
haruslah mengetahui aturan-aturan lalu lintas terlebih dahulu.
Mendengar jawaban yang diberikan Prof. Marsigit, saya
kembali bertanya “apakah saya sudah memiliki sopan santun terhadap ruang dan
waktu?”. Jawabannya belum dapat saya temukan hingga tulisan ini diterbitkan. Jika
saya menjawab ya maka belum tentu orang lain yang melihat saya pun menjawab iya
dan begitupun jika saya menjawab tidak. Karena yang dapat menilai diri kita itu
sesungguhnya adalah orang lain, seperti yang pernah dikatakan Prof. Marsigit
bahwa filsuf hebat pun tidak pernah merasa menjadi filsuf tetapi orang lain lah
yang menyatakan bahwa ia adalah filsuf hebat.
Good reflection
BalasHapus