Senin, 29 Februari 2016

Struktur Teorema Thales



Thales (624 – 564 SM) merupakan seorang filsuf yang lahir di kota Miletus, sebuah kota di pesisir barat Anatolia. Selama hidup, Thales tidak pernah meyakini kepercayaan sukunya mengenai kekuatan para dewa dan lebih mempercayai akal sehat dan pandangan naluri yang ia bangun dengan pemikirannya. Thales memiliki berbagai pemikiran terutama mengenai kehidupan di bumi dan juga bidang geometri yang dipelajarinya di Mesir ketika Thales berpakaian saudagar.



Gambar 1. Skema Pemikiran Thales

Pemikiran utama Thales adalah mengenai air yang merupakan prinsip dasar dari segala sesuatu yang ada di bumi ini. Hal ini dikarenakan air mampu tampil dalam segala bentuk, bersifat stabil, tidak akan pernah habis, dan juga terkandung di setiap bahan makanan. Pemikiran Thales berikutnya yaitu bahwa setiap hal yang ada di muka bumi, baik benda hidup maupun benda mati, memiliki jiwa. Selanjutnya, Thales pun semakin dikenal oleh masyarakat pada masa itu ketika Thales berhasil memprediksi terjadinya gerhana matahari pada tanggal 28 Mei pada tahun 585 SM.
Thales berhasil membuat pemikiran-pemikiran dalam bidang geometri, diantaranya menentukan ukuran piramida hanya dari bayangannya saja dan mengukur jarak suatu kapal di laut dengan tepian pantai. Selanjutnya, pemikiran-pemikiran tersebut disempurnakan dengan pemikiran abstrak Thales yang lainnya ke dalam teorema yang kemudian menjadi teorema dasar dalam bidang geometri dan dikenal dengan nama teorema Thales. Adapun teorema tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Sebuah lingkaran terbagi dua sama besar oleh diameternya.
2.      Sudut bagian dasar dari sebuah segitiga samakaki adalah sama besar.
3.      Jika ada dua garis lurus bersilangan, maka besar kedua sudut yang saling berlawanan akan sama.
4.     Jika A, B, dan C adalah titik-titik dalam sebuah lingkaran dimana AC merupakan sebuah diameter lingkaran, maka ABC adalah sudut siku-siku.
5.  Sebuah segitiga terbentuk bila bagian dasarnya serta sudut-sudut yang bersinggungan dengan bagian dasar tersebut telah ditentukan.

Gambar 2. Timeline Perjalanan Teorema Thales


Kelima teorema dalam bidang geometri tersebut perlahan-lahan diperkenalkan kepada masyarakat pada zaman tersebut. Sayangnya, tidak ada sumber yang secara pasti menerangkan bagaimana Thales mengenalkan teorema-teorema tersebut. Namun, sejak Thales mengenalkan teoremanya, Thales kemudian memiliki beberapa murid diantaranya Anaximander, Anaximenes, Mamercus, dan Mandryatus.
Selanjutnya, sepeninggal Thales, beberapa filsuf seperi Plato dan Aristoteles menuliskan kisah perjalanan Thales beserta pemikiran-pemikirannya termasuk teorema Thales. Bahkan, Pythagoras dan Euclid kemudian melanjutkan perjuangan Thales dalam bidang geometri. Tidak hanya penuangan dalam tulisan saja, beberapa orang pun berusaha untuk membuktikan teorema tersebut dan sekitar 450 SM, Eudemus berhasil untuk membuktikannya. Namun, selain adanya pembuktian ternyata ada pula yang mengatakan bahwa terdapat kekeliruan dalam teorema Thales. Hal ini disampaikan oleh Proclus yang mengungkapkan bahwa ada sedikit kekeliruan dalam Teorema Thales sehingga kemudian Proclus menggunakan kata “similar” atau “serupa” daripada “equal” atau “sama dengan” ketika membuktikan teorema ke-2. Hal tersebut dilakukan karena menurutnya Thales tidak memiliki cara yang tepat untuk mengukur secara pasti sudut tersebut.
Pembuktian matematis lain yang juga dikemukakan adalah pembuktian teorema ke-4 yang dituliskan dalam buku Element Euclid. Berikut adalah pembuktiannya:

Gambar 3
Perhatikan gambar 3!
OA, OB, dan OC merupakan jari-jari lingkaran, sehingga panjang OA, OB, dan OC adalah sama. Karena OA, OB, dan OC sama panjang, maka AOB dan BOC merupakan segitiga sama kaki dengan OBC = OCB dan OAB = OBA. Mengingat jumlah sudut segitiga sama dengan 180°, maka:
α + (α + β) + β = 180°
2(α + β) = 180°
α + β = 90°

Teorema Thales yang disebut sebagai salah satu dasar-dasar dalam bidang geometri, ternyata juga memberikan pengaruh akan munculnya pemikiran lain dalam geometri. Contohnya adalah kesebangunan dan kekongruenan segitiga. Saat ini, teorema Thales masih diperkenalkan kepada generasi-generasi muda. Perkenalan tersebut dilakukan dalam kegiatan pembelajaran matematika. Namun, perkenalan tersebut dilakukan secara berbeda. Misalnya untuk anak-anak yang sudah sampai di sekolah-sekolah tinggi, perkenalan tidak hanya dilakukan sebatas mengenal lalu menggunakannya tetapi lebih pada pembuktian teorema-teorema itu sendiri. Tidak hanya itu, sebagaimana awal mula teorema ini hadir, teorema Thales juga digunakan untuk mengukur jarak kapal dari tepi pantai ataupun mengukur ketinggian suatu obyek namun hanya dengan menggunakan tinggi bayangan dari obyek tersebut.

Sumber:
http://goo.gl/Kkvj3p
https://id.wikipedia.org/wiki/Thales
https://en.wikipedia.org/wiki/Thales%27_theorem
http://www.learn-math.info/indonesian/historyDetail.htm?id=Thales
http://paradoks77.blogspot.co.id/2011/05/pmbuktian-teorema-thales.html




Senin, 22 Februari 2016

Mengenal Konsep Himpunan Matematika dalam Musik


Musik merupakan salah satu hal di dunia ini yang dapat mengaduk-aduk emosi seseorang. Melalui musik, manusia pun dapat mengungkapkan dan mengekspresikan pemikiran serta hatinya. Musik telah hadir di dunia ini sejak dahulu kala. Pada zaman Yunani Kuno sudah dikenal dewa/dewi musik seperti The Graces dan The Muses.
Beberapa filsuf, seperti Plato (422 – 347 SM) dan Arthur Schopenhauer (1788 – 1860), menyatakan bahwa musik merupakan suatu bentuk karya yang tinggi akan nilai estetika sehingga dapat membantu kehidupan manusia. Selanjutnya, Immanuel Kant (1724 – 1804) mendefinisikan musik lebih dalam lagi. Kant berpendapat bahwa musik dapat dikatakan memiliki nilai estetika yang tinggi bila ada keharmonisan antara imajinasi dan artinya. Kant juga menilai bahwa musik yang berestetika adalah musik yang dihasilkan oleh seorang yang genius dan juga ahli pikir.
Musik dengan harmonisasi yang indah memang dapat mempengaruhi emosi manusia. Namun, dibalik keindahan tersebut ternyata juga terkandung kompleksitas yang tinggi dan siapa sangka hal tersebut berhubungan dengan matematika. Seperti yang pernah diungkapkan Pythagoras (572 – 500 SM), yaitu bahwa musik memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan dari matematika.
Banyak aspek dalam musik yang memiliki keterkaitan erat dengan matematika, seperti ritme, frekuensi, harmoni, sistem tuning, dan sebagainya. Tetapi, ada salah satu aspek yang cukup mendasar dalam musik dan sangat berkaitan erat dengan matematika, yang dinamakan teori himpunan musik atau set music theory.
Teori himpunan musik atau set music theory merupakan sebuah konsep dalam musik yang digunakan untuk mengkategorisasikan dan mendeskripsikan hubungan obyek-obyek dalam musik. Selain itu, teori ini juga dapat dipakai untuk menganalisis struktur-struktur musik. Menurut Howard Hanson (1960) dan Allen Forte (1973), konsep teori himpunan musik ini adalah suatu teori yang sangat umum dan dapat diaplikasikan pada gaya musik tonal dan atonal.
Dasar-dasar teori ini sesungguhnya sangatlah mirip dengan teori-teori dasar dalam teori himpunan matematika. Kemiripan yang pertama terlihat pada notasi yang digunakan untuk mendefinisikan himpunan. Pada kedua teori, untuk membatasi daftar anggota-anggota pada himpunan lazimnya digunakan tanda kurung, baik tanda kurung kurawal ({}) maupun tanda kurung siku ([]). Namun dalam musik, ada beberapa teori yang menggunakan tanda kurung sudut (< >).
Kemiripan selanjutnya adalah pada anggota. Dalam teori himpunan matematika, obyek-obyek yang merupakan anggota suatu himpunan haruslah memiliki kesamaan yang terdefinisi secara jelas. Misalnya himpunan bilangan asli yaitu {1, 2, 3, }. Pada musik pun berlaku hal yang serupa, dimana anggota dalam himpunan tersebut didefinisikan dan diklasifikasikan berdasarkan pitch yang dibutuhkan oleh suatu melodi. Misalnya suatu melodi didasarkan pada pitch C – C# – D dan jika dinotasikan dalam himpunan maka akan menjadi {0, 1, 2}, dimana C yang merupakan nada utama dinotasikan dengan angka nol, kemudian C# dinotasikan dengan angka 1 karena terjadi perpindahan interval nada sebesar 1 interval dari C ke C#, demikian pula D yang dinotasikan dengan angka 2.
Kemiripan yang ketiga adalah operasi-operasi yang dilakukan pada himpunan-himpunan. Contohnya, operasi yang dapat dilakukan dalam materi himpunan adalah translasi dan refleksi. Operasi ini pun dilakukan dalam musik namun dengan penamaan yang berbeda, dimana translasi berubah menjadi transposisi dan refleksi berubah menjadi inversi. Tidak hanya itu, operasi matematis lain yang juga dapat dilakukan dalam musik adalah komplementasi dan multiplikasi (perkalian).
Selanjutnya, jika dilihat dari operasi yang dilakukan pada himpunan pitch dalam suatu melodi; yaitu dapat ditansposisi dan diinversi; dengan demikian dapat diketahui bahwa himpunan tersebut haruslah merupakan suatu himpunan yang simetris. Hal tersebut dalam matematika dikenal sebagai relasi yang ekuivalen, sebagaimana menurut Schuijer (2008) yang menyatakan bahwa suatu relasi dalam himpunan S dinyatakan sebagai relasi ekuivalen jika memenuhi tiga kondisi, yaitu reflektif, simetris, dan transitif.
Kesamaan yang terdapat pada teori himpunan musik maupun teori himpunan matematika merupakan suatu bentuk atau wujud bahwa matematika yang dinilai kaku oleh sebagian orang ternyata mampu berkawan dengan musik yang dinilai sangat menyenangkan. Namun sesungguhnya tidak hanya teori himpunan saja melainkan masih banyak teori matematika lain yang juga berkaitan erat dengan musik ataupun dengan bidang ilmu lain yang mungkin tidak pernah dibayangkan.

Sumber:
https://en.wikipedia.org/wiki/Set_theory_(music)
https://en.wikipedia.org/wiki/Music_and_mathematics
https://hendafebrian.wordpress.com/2008/12/07/filsafat-musik/


Note: 
Penulis tidak terlalu memahami konsep musik secara mendalam, jadi bila terdapat kesalahan mohon untuk dikoreksi di kolom komentar. Thanks, :)

Senin, 15 Februari 2016

Teorema Thales

TEOREMA THALES



Thales (624 – 564 SM) merupakan seorang filsuf yang lahir di kota Miletus, sebuah kota di pesisir barat Anatolia. Thales besar di antara suku Homerian yang mempercayai adanya kekuatan para dewa yang memiliki kemampuan seperti manusia. Dewa tersebut dianggap sebagai penggerak alam semesta. Namun meskipun begitu, Thales tidak pernah meyakini kepercayaan tersebut dan lebih mempercayai akal sehat dan pandangan naluri yang ia bangun dengan pemikirannya.
Pemikiran utama Thales adalah mengenai prinsip dasar dari segala sesuatu yang ada di bumi ini. Thales menyatakan bahwa hal tersebut sesungguhnya adalah air. Hal ini dikarenakan air mampu tampil dalam segala bentuk, bersifat stabil, dan juga tidak akan pernah habis. Selain itu juga dikarenakan bahwa air terkandung di setiap bahan makanan yang dibutuhkan oleh semua makhluk hidup. Thales pun mengemukakan pandangan bahwa bumi terletak di atas air. Pemikiran Thales berikutnya yaitu mengenai jiwa. Menurutnya, setiap hal yang ada di muka bumi, baik benda hidup maupun benda mati, memiliki jiwa. Misalnya saja sebuah magnet yang dapat menarik atau menggerakan besi.
Selanjutnya, Thales pun semakin dikenal oleh masyarakat pada masa itu ketika Thales berhasil memprediksi terjadinya gerhana matahari pada tanggal 28 Mei pada tahun 585 SM. Pada saat itu, Thales mengamati laporan masyarakat Babylonia, yaitu sebuah siklus sepanjang 18 tahun 10 hari 8 jam. Beberapa masyarakat pada masa itu menduga bahwa prediksi Thales mengenai gerhana tersebut hanyalah sebuah tebakan saja. Namun beberapa masyarakat pun menduga bahwa hal tersebut bukanlah suatu tebakan semata, seperti yang diungkapkan oleh Longrigg.
Selain sebagai seorang saudagar, Thales pun sering pergi berlayar terutama ke Mesir. Di sana, Thales mempelajari ilmu ukur atau geometri. Dengan ilmu yang dipelajarinya tersebut, Thales berhasil membuat pemikiran-pemikiran dalam bidang geometri, diantaranya menentukan ukuran piramida hanya dari bayangannya saja. Hal ini pun diungkapkan oleh Hieronymus dan Pliny dalam tulisan keduanya. Tidak hanya itu, Thales pun dapat mengukur jarak suatu kapal di laut dengan tepian pantai.
Selanjutnya, pemikiran-pemikiran tersebut disempurnakan ke dalam teorema yang kemudian menjadi teorema dasar dalam bidang geometri. Adapun teorema tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Sebuah lingkaran terbagi dua sama besar oleh diameternya.
2.      Sudut bagian dasar dari sebuah segitiga samakaki adalah sama besar.
3.      Jika ada dua garis lurus bersilangan, maka besar kedua sudut yang saling berlawanan akan sama.
4.      Sudut yang terdapat di dalam setengah lingkaran adalah sudut siku-siku.
5.      Sebuah segitiga terbentuk bila bagian dasarnya serta sudut-sudut yang bersinggungan dengan bagian dasar tersebut telah ditentukan.
Semenjak Thales mengenalkan teoremanya ke masyarakat, Thales memiliki beberapa murid diantaranya Anaximander, Anaximenes, Mamercus, dan Mandryatus. Tidak hanya itu, beberapa orang pun berusaha untuk membuktikan teorema tersebut dan sekitar 450 SM, Eudemus berhasil untuk membuktikannya. Di sisi lain, Proclus mengungkapkan bahwa ada sedikit kekeliruan dalam Teorema Thales sehingga kemudian Proclus menggunakan kata “similar” atau “serupa” daripada “equal” atau “sama dengan” ketika membuktikan teorema ke-2. Hal tersebut dilakukan karena menurutnya Thales tidak memiliki cara yang tepat untuk mengukur secara pasti sudut tersebut.
Saat ini, di Indonesia khususnya, Teorema Thales pun masih diperkenalkan kepada masyarakat terutama anak-anak sekolah, khususnya anak-anak di sekolah menengah pertama. Hanya saja pengenalan yang dilakukan hanya bersifat aplikatif dimana anak-anak diajarkan untuk menggunakan rumus-rumusnya saja tanpa mengetahui tujuan penggunaannya dan juga asal usul rumus tersebut. Sesungguhnya, ada baiknya bahwa anak-anak diperkenalkan dengan cara “menemukan” daripada “diberitahu”. Dengan demikian ,anak akan lebih merasa lebih dekat serta mengetahui hal yang dipelajarinya secara mendalam, dan mungkin suatu hari nanti akan lahir sosok sehebat Thales dengan teorema-teorema baru dalam bidang matematika, khususnya geometri.

Sumber:
http://goo.gl/Kkvj3p
https://id.wikipedia.org/wiki/Thales

http://www.learn-math.info/indonesian/historyDetail.htm?id=Thales