Tulisan ini merupakan refleksi dari perkuliahan
filsafat ilmu dengan Prof. Marsigit pada tanggal 11 November 2015. Perkuliahan
dimulai pada pukul 07.30 WIB di ruang PPG 1 Lab. FMIPA UNY.
Pada pertemuan minggu ke-7, Prof. Marsigit
mempersilahkan kami untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Namun karena tidak
ada yang dengan sukarela bertanya, maka Prof. Marsigit pun memanggil nama kami
secara acak. Jumlah pertanyaan pada pertemuan kali ini adalah sebanyak 3 pertanyaan.
Namun dari ketiga pertanyaan, saya cukup tertarik dengan pertanyaan mengenai
bagaimana cara menyikapi powernow.
Powernow merupakan negara yang memiliki kekuasaan
dan pengaruh yang sangat besar di dunia ini. Kekuasaan dan pengaruhnya pun
sampai di negara kita, Indonesia. Salah satu pengaruhnya adalah dalam bidang
teknologi. Saat ini, dapat dikatakan teknologi bagaikan majikan bagi manusia.
Contoh sederhananya adalah handphone. Coba saja perhatikan, saat ini orang dewasa
mana yang tidak memiliki handphone. Bahkan bukan hanya orang dewasa saja,
anak-anak pun sudah banyak yang memiliki handphone.
Fenomena-fenomena semacam ini dinamakan teknopoli. Teknopoli merupakan sebuah istilah yang diciptakan oleh
Neil Postman yang merupakan gabungan dari dua istilah, yaitu teknologi dan
monopoli. Teknopoli bermakna pemonopolian teknologi atau dominasi teknologi
dalam kehidupan manusia. Dalam mukadimah buku Technopoly Postman menjelaskan
bahwa teknologi telah menghapuskan esensi akhlak dari budaya masyarakat. Teknologi
juga menghancurkan hubungan antara jiwa dan pemikiran manusia yang pada
hakikatnya merupakan nilai-nilai pokok kehidupan manusia. Atau dapat dikatakan
bahwa budaya sudah menyerah di bawah telapak kaki teknologi.
Menurut Prof. Marsigit, fenomena teknopoli ini
menyebabkan manusia dapat memanipulasi budaya baru demi kepentingannya dan
sesuai dengan harkat serta martabat hedonisme. Contohnya saja acara Smackdown
yang dahulu hanya diperuntukan bagi laki-laki, kini ada acara Smackdown yang diperuntukan
bagi perempuan. Tidak hanya di luar negeri, Indonesia pun demikian. Seperti
misalnya batik. Dahulu batik merupakan karya seni namun saat ini batik merupakan
karya jual. Tidak hanya itu, tarian Bali yang dahulu digunakan untuk ritual,
sekarang digunakan untuk menarik wisatawan.
Selain itu, teknopoli juga dapat menyebabkan merosoknya
budi pekerti manusia. MUI pun menyatakan bahwa Indonesia sedang darurat budi
pekerti. Hal ini tercermin dari banyaknya kasus-kasus seperti korupsi, kolusi,
dan nepotisme. Bahkan, Menteri Agama Indonesia pun sudah merasakan bagaimana
rasanya memakai kostum oranye ala KPK.
Namun di lain sisi, kita tidak bisa menyalahkan
begitu saja teknologi. Disadari atau tidak, setiap hari kita bergelut
dengannya. Bahkan kita pun mendapatkan keuntungan darinya. Seperti lebih mudah
untuk berkomunikasi, lebih mudah dalam pekerjaan, dan lain sebagainya. Maka
untuk menyikapi pengaruh-pengaruh ini, yang dapat kita lakukan adalah berbenah
diri. Jangan sampai kita menjadi obyek teknologi namun cobalah untuk menjadi
subyek teknologi dan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar