Selasa, 17 November 2015

Teknopoli – Refleksi Filsafat Ilmu

Tulisan ini merupakan refleksi dari perkuliahan filsafat ilmu dengan Prof. Marsigit pada tanggal 11 November 2015. Perkuliahan dimulai pada pukul 07.30 WIB di ruang PPG 1 Lab. FMIPA UNY.

Pada pertemuan minggu ke-7, Prof. Marsigit mempersilahkan kami untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Namun karena tidak ada yang dengan sukarela bertanya, maka Prof. Marsigit pun memanggil nama kami secara acak. Jumlah pertanyaan pada pertemuan kali ini adalah sebanyak 3 pertanyaan. Namun dari ketiga pertanyaan, saya cukup tertarik dengan pertanyaan mengenai bagaimana cara menyikapi powernow.

Powernow merupakan negara yang memiliki kekuasaan dan pengaruh yang sangat besar di dunia ini. Kekuasaan dan pengaruhnya pun sampai di negara kita, Indonesia. Salah satu pengaruhnya adalah dalam bidang teknologi. Saat ini, dapat dikatakan teknologi bagaikan majikan bagi manusia. Contoh sederhananya adalah handphone. Coba saja perhatikan, saat ini orang dewasa mana yang tidak memiliki handphone. Bahkan bukan hanya orang dewasa saja, anak-anak pun sudah banyak yang memiliki handphone.

Fenomena-fenomena semacam ini dinamakan teknopoli. Teknopoli merupakan sebuah istilah yang diciptakan oleh Neil Postman yang merupakan gabungan dari dua istilah, yaitu teknologi dan monopoli. Teknopoli bermakna pemonopolian teknologi atau dominasi teknologi dalam kehidupan manusia. Dalam mukadimah buku Technopoly Postman menjelaskan bahwa teknologi telah menghapuskan esensi akhlak dari budaya masyarakat. Teknologi juga menghancurkan hubungan antara jiwa dan pemikiran manusia yang pada hakikatnya merupakan nilai-nilai pokok kehidupan manusia. Atau dapat dikatakan bahwa budaya sudah menyerah di bawah telapak kaki teknologi.

Menurut Prof. Marsigit, fenomena teknopoli ini menyebabkan manusia dapat memanipulasi budaya baru demi kepentingannya dan sesuai dengan harkat serta martabat hedonisme. Contohnya saja acara Smackdown yang dahulu hanya diperuntukan bagi laki-laki, kini ada acara Smackdown yang diperuntukan bagi perempuan. Tidak hanya di luar negeri, Indonesia pun demikian. Seperti misalnya batik. Dahulu batik merupakan karya seni namun saat ini batik merupakan karya jual. Tidak hanya itu, tarian Bali yang dahulu digunakan untuk ritual, sekarang digunakan untuk menarik wisatawan.

Selain itu, teknopoli juga dapat menyebabkan merosoknya budi pekerti manusia. MUI pun menyatakan bahwa Indonesia sedang darurat budi pekerti. Hal ini tercermin dari banyaknya kasus-kasus seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Bahkan, Menteri Agama Indonesia pun sudah merasakan bagaimana rasanya memakai kostum oranye ala KPK.


Namun di lain sisi, kita tidak bisa menyalahkan begitu saja teknologi. Disadari atau tidak, setiap hari kita bergelut dengannya. Bahkan kita pun mendapatkan keuntungan darinya. Seperti lebih mudah untuk berkomunikasi, lebih mudah dalam pekerjaan, dan lain sebagainya. Maka untuk menyikapi pengaruh-pengaruh ini, yang dapat kita lakukan adalah berbenah diri. Jangan sampai kita menjadi obyek teknologi namun cobalah untuk menjadi subyek teknologi dan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar