Selasa, 19 Januari 2016

Belajar Memahami Hidup dengan Filsafat - Tugas Akhir Filsafat Ilmu

BELAJAR MEMAHAMI HIDUP DENGAN FILSAFAT

Makalah Dibuat dalam Rangka Melengkapu Tugas-tugas Perkuliahan Filsafat Ilmu dari Prof. Dr. Marsigit, M.A., Tahun Ajaran 2015/2016






Disusun Oleh:

Nurul Fitrokhoerani
(15709251026)



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2016
PENDAHULUAN

Hidup merupakan suatu hal yang pasti dialami oleh setiap manusia. Tidak hanya itu, setiap manusia pun memiliki mimpi tersendiri akan kehidupan ideal bagi dirinya. Mimpi akan kehidupan ideal tersebut sesungguhnya bersifat relatif, karena kehidupan ideal bagi seorang manusia belum tentu menjadi kehidupan ideal bagi manusia yang lain. Perbedaan pandangan manusia mengenai kehidupan inilah yang menjadikan dunia lebih berwarna.
Selain itu, jika diamati lebih mendalam, hidup juga bersifat kontradiksi. Misalnya hidup dengan kebahagiaan akan berkontradiksi dengan hidup dengan kesedihan atau hidup dengan kemewahan akan berkontradiksi dengan hidup dengan kesederhanaan.
Kehidupan memang tidak akan pernah habis untuk dibicarakan dan dibahas, terutama dalam bidang ilmu filsafat. Filsafat sendiri merupakan suatu ilmu yang mempelajari akan seluruh fenomena kehidupan manusia secara ekstensif dan intensif sehingga dapat melatih kemampuan berpikir kritis manusia. Meskipun filsafat sudah didefinisikan secara jelas, namun sesungguhnya filsafat adalah pemikiran manusia itu sendiri dan pemikiran tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa yang sederhana sehingga dapat dengan mudah dipahami oleh orang lain.
Keterkaitan yang sangat erat antara filsafat dan kehidupan memang menarik untuk diulas, terutama mengenai makna hidup dalam kacamata filsafat. Hal inilah yang kemudian menjadikan penulis untuk membahasnya dalam makalah ini. Namun dalam makalah ini, makna kehidupan tidak hanya dipandang dari segi filsafat secara umum tetapi juga dipandang dari cabang-cabang filsafat yang lainnya.






PEMBAHASAN

A.    Definisi Hidup
Setiap manusia di muka bumi ini pasti mengalami apa yang disebut dengan hidup. Tetapi nampaknya tak akan ada satu orang pun yang dapat mendefinisikan hidup secara pasti. Hal ini bisa jadi dikarenakan perspektif setiap manusia yang berbeda mengenai arti hidup. Meskipun terdapat perbedaan akan definisi hidup, sesungguhnya hidup dapat didefinisikan baik dari segi biologi, segi sosiologi bahkan segi filsafat.
Jika kata hidup dipandang dari sisi biologi, hidup dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang ada, nampak, dan berwujud pada manusia namun disertai dengan adanya berbagai ciri-ciri. Ciri-ciri tersebut diantaranya bernafas, bergerak, memerlukan makanan, tumbuh, berkembang biak, dan peka terhadap rangsangan. Selanjutnya, hidup dalam ruang lingkup sosiologi dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang memiliki keterkaitan erat dengan perilaku manusia yang diwujudkan dalam bentuk interaksi dengan manusia yang lainnya. Dengan demikian, hidup dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang dilalui oleh manusia yang ditandai dengan bernafas, tumbuh, bergerak, berkembang biak, dan peka terhadap rangsangan serta di dalamnya terdapat suatu interaksi antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya.
Namun, definisi tersebut sesungguhnya hanya sebagian kecil saja dari definisi hidup yang sesungguhnya, karena hidup yang dijalani oleh manusia pada hakikatnya sangatlah beraneka ragam dan hanya bisa didefinisikan oleh manusia yang menjalaninya. Ada yang mendefinisikan hidup sebagai suatu kebahagiaan, ada juga yang mendefinisikan hidup sebagai suatu kesedihan, dan lain sebagainya. Jadi sesungguhnya definisi hidup adalah relatif tergantung pada siapa yang mengalaminya dan sebagai manusia yang menjalaninya, alangkah baiknya kita tidak hanya mampu mendefinisikan hidup tetapi juga mampu memahami hakekat hidup serta menjadikan hidup yang lebih bermanfaat bagi manusia yang lain.

B.     Pandangan Filsafat Terhadap Kehidupan Manusia
Manusia memiliki kebebasan untuk memilih jalan hidupnya masing-masing dan tak ada satu manusia pun yang dapat menghalanginya. Pilihan itu pun dapat beragam dan bahkan saling berkontradiksi. Selain itu, alangkah baiknya jika manusia menjalani segala hal di dalam hidupnya dengan menyesuaikan diri akan ruang dan waktu yang ada serta menyadari posisinya dalam ruang dan waktu tersebut.
Filsafat merupakan studi mengenai kehidupan manusia. Karenanya dalam filsafat, banyak pandangannya yang mengulas kehidupan manusia baik secara eksplisit maupun implisit. Berikut adalah beberapa pandangan filsafat tersebut.
1.      Determinisme
Determinisme merupakan suatu pandangan filsafat yang menyatakan bahwa dalam hidup manusia tidak terdapat kebebasan untuk melakukan berbagai kegiatan. Manusia yang termasuk ke dalam determinis, biasanya melakukan justifikasi pada suatu hal tanpa memikirkan terlebih dahulu pilihan lain yang mungkin dapat menjustifikasi hal tersebut lebih baik. Misalnya seseorang yang menilai bahwa anak-anak dari keluarga broken home memiliki kelakuan yang buruk. Penilaian akan anak tersebut sesungguhnya merupakan bentuk deteminisme karena sesungguhnya tidak semua anak dari keluarga broken home memiliki kelakuan yang buruk.
2.      Fabilisme
Fabilisme merupakan suatu pandangan dalam filsafat yang mendukung pernyataan bahwa manusia dapat berlaku salah. Pandangan ini layaknya cukup baik untuk diterapkan dalam hidup manusia mengingat tidak sempurnanya diri manusia. Dengan menerapkan pandangan ini, kita akan lebih menghargai kesalahan yang telah diperbuat, baik oleh diri sendiri maupun oleh orang lain.
Fabilisme pun memandang bahwa kesalahan adalah kebenaran. Misalnya kesalahan anak kecil dalam mempelajari matematika dengan benda nyata merupakan suatu kebenaran bagi anak tersebut meskipun bagi orang dewasa hal itu adalah kesalahan. Hal ini dikarenakan usia anak memanglah saat dimana ia mempelajari matematika dengan pengalamannya termasuk interaksinya dengan benda nyata.
3.      Hedonisme
Saat ini, nampaknya banyak sekali manusia yang memiliki pandangan hedonisme. Pandangan ini merupakan pandangan hidup yang menjadikan kebahagiaan duniawi sebagai tujuan hidupnya. Orang-orang hedonis akan melakukan berbagai upaya untuk mencari kebahagian duniawi sebanyak-banyaknya. Salah satu ciri hedonisme sudah banyak merebak di kehidupan masyarakat adalah banyaknya pusat perbelanjaan yang menjanjikan kebahagiaan duniawi yang beragam.
4.      Vitalisme dan Fatalisme
Vitalisme dan fatalisme bagaikan sepasang sepatu yang tidak akan bermanfaat jika hanya digunakan salah satunya saja. Vital dapat didefinisikan sebagai ikhtiar, sedangkan fatal adalah doa atau takdir. Dalam hidup manusia, keduanya haruslah memiliki bobot yang sama. Bayangkan saja jika ada seseorang yang menginginkan sebuah kendaraan namun hanya berdoa dan meminta kepada Tuhannya saja tanpa adanya usaha. Apakah mungkin orang tersebut mendapatkan kendaraan yang diinginkan? Jawabannya adalah tidak. Begitupun jika kondisi tersebut ditukar. Jawaban yang mungkin dihasilkan bisa saja iya, namun yang didapat orang tersebut bukanlah suatu hal yang berkah dan bermanfaat. Selain itu, jawabannya pun bisa saja tidak, jika dia hanya berusaha namun Tuhan tidak mengizinkannya karena dia tidak pernah berdoa.
5.      Positivisme
Pandangan ini merupakan pandangan yang dimunculkan pertama kali oleh Auguste Comte. Manusia yang memiliki pandangan ini menganggap bahwa teknologi adalah dewa. Hal ini sesungguhnya tengah terjadi pada kehidupan manusia di zaman saat ini dimana teknologi sudah bukanlah hal yang mahal. Tidak hanya mengagungkan teknologi atau sains, manusia yang memiliki pandangan ini akan menempatkan spiritualitasnya di posisi terendah dalam hidupnya. Salah satu contoh manusia yang menggunakan positivisme sebagai pandangan hidupnya adalah seorang laki-laki yang selalu menggunakan hand-phone meskipun ia sedang melaksanakan sholat Jumat.
6.      Reduksionisme
Reduksionisme sesungguhnya pasti terjadi dalam kehidupan manusia, namun terkadang tak pernah disadari. Pandangan reduksionisme mengungkapkan bahwa suatu hal dapat dipahami dengan menyederhanakan atau mereduksi seluruh bagian kecil yang ada dalam hal tersebut. Kegiatan reduksi pada hidup manusia dikarenakan keterbatasan yang ada dalam diri manusia untuk memahami secara utuh segala hal yang ada di dunia.
7.      Skeptisisme
Keraguan dalam diri manusia terkadang akan muncul ke permukaan. Terlebih jika manusia dihadapkan pada pilihan yang akan menentukan hidupnya kelak. Namun, bagaimana jika ada manusia yang selalu dipenuhi keraguan dan ketidakpercayaan diri dalam hidupnya? Mungkin saja manusia tersebut merupakan salah satu yang menjadikan skeptisisme sebagai pandangan hidupnya. Pandangan ini sesungguhnya dapat bernilai positif atau negatif. Poin positif dari pandangan ini yaitu menjadikan manusia berhati-hati akan hal-hal baru yang mungkin akan menghampirinya. Sedangkan poin negatifnya muncul dari segi keagamaan, dimana manusia seharusnya tidak boleh memiliki keraguan sedikitpun ketika berurusan dengan Tuhannya.








KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya hidup merupakan suatu hal yang pasti terjadi dalam diri manusia. Hidup yang dipilih manusia pun bermacam-macam tergantung bagaimana manusia memandang hidupnya. Tetapi, apapun pandangan hidup yang dipilih manusia, entah hedonisme, reduksionisme, atau apapun, manusia hendaknya jangan sekali-kali melupakan aspek spiritualitas. Karena bagaimanapun, spiritualitaslah yang akan menjadikan hati manusia tenang dalam menjalani kehidupannya.
Selain itu, dalam hidup pun sebaiknya manusia bisa selalu menerjemahkan dan diterjemahkan, seperti memahami siapa subyek dan siapa obyek. Hal ini penting dilakukan agar tidak terjadi suatu anomali dalam kehidupan manusia. Tak lupa, manusia pun harus mampu menempatkan dirinya tergantung pada ruang dan waktu dimana ia berada.


Selasa, 12 Januari 2016

Motor Bukanlah Pangkat - Refleksi Filsafat Ilmu

Tulisan ini merupakan refleksi dari perkuliahan filsafat ilmu. Perkuliahan ini dilakukan pada tanggal 30 Desember 2015 dan merupakan pertemuan tatap muka terakhir mata kuliah filsafat ilmu program studi pendidikan matematika kelas B dengan Prof. Marsigit. Seperti biasa setiap awal perkuliahan dimulai dengan berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Mungkin hal ini biasa terdengar di telinga kita. Namun sesungguhnya hal ini memiliki esensi yang sangat mendalam, yaitu toleransi antar umat beragama. Toleransi antar umat beragama merupakan suatu upaya atau usaha saling menghargai dan menghormati sesama manusia meskipun memiliki perbedaan agama.

Setelah itu, Prof. Marsigit menjawab pertanyaan dari saudari Vincentia yaitu mengenai penggunaan motor gede menurut sudut pandang Prof. Marsigit dan juga filsafat. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Prof. Marsigit menceritakan memori-memori masa kecilnya yang menurut saya sangat menginspirasi. Hidup dengan keterbatasan namun bahagia. Selain itu, dalam cerita tersebut pun saya mendapatkan suatu pelajaran bahwa meskipun hidup yang kita lalui penuh dengan segala keterbatasannya, tetapi kita harus kuat untuk menghadapinya karena suatu saat akan ada pelangi setelah adanya badai. Tidak hanya harus kuat dalam menghadapi hidup, kita pun harus mampu memahami segala aspek psikologis yang ada dalam kehidupan ini karena kita hidup tidak hanya sendiri tetapi berdampingan dengan orang lain.

Kembali kepada pertanyaan saudari Vincentia, menurut Prof. Marsigit, menggunakan motor gede dapat dipandang sebagai suatu perilaku hedonis. Namun di balik kehedonisan tersebut, banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh. Salah satunya adalah keselamatan di jalan raya. DIsadari ataupun tidak, para pengguna motor gede cukup sangat dihormati dan diperhatikan ketika berada di jalan raya. Perhatian yang ditunjukkan orang-orang tersebut dapat membuat penggunanya justru menjadi merasa lebih aman dan terlindungi. Tak hanya itu, menggunakan motor pun dapat membantu kita untuk tidak terjebak dalam kemacetan di jalan raya. Prof. Marsigit kemudian melanjutkan, bahwa menggunakan motor gede merupakan suatu eksperimen bagi dirinya. Eksperimen yang dilakukan Prof. Marsigit dengan motor gedenya merupakan suatu eksperimen bagaimana kehidupan hedonis serta pandangan orang-orang terhadap pengendara dan juga motornya.

Dari setiap kisah Prof. Marsigit dengan motor gedenya, ada satu hal yang sangat mengena di hati saya, ketika Prof. Marsigit berkata bahwa bagi dirinya, seorang Professor tidak harus menggunakan mobil terlebih dengan supirnya hanya karena dirinya seorang Professor, karena gelar Professor hanyalah gelar yang harus dipertanggungjawabkan di ranah akademik. Hal ini mengajarkan kepada saya bahwa setinggi apapun ilmu atau harta yang dimiliki janganlah menjadikan diri kita tinggi hati, justru buatlah diri kita bermanfaat tidak hanya untuk diri sendiri tetapi juga orang lain. 

Terima kasih Prof. Marsigit atas segala inspirasi dan ilmunya selama perkuliahan filsafat ilmu dalam satu semester ini. Semoga ilmu yang Prof. Marsigit telah tuangkan akan selalu dapat saya amalkan.

Perspektif Filsafat dalam Kehidupan Duniawi - Refleksi Filsafat Ilmu

Tulisan ini merupakan refleksi dari perkuliahan filsafat ilmu dengan Prof. Marsigit pada tanggal 29 Desember 2015. Perkuliahan yang dimulai pada pukul 07.30 WIB di Gedung Pascasarjana Lama. Perkuliahan ini merupakan perkuliahan pengganti bagi perkuliahan yang sebelumnya tidak dapat dilaksanakan karena beberapa hal. Pada pertemuan ini dilakukan sebanyak dua sesi atau dua pertemuan dan diisi dengan tanya jawab.

Pertanyaan pertama yaitu “bagaimana tips agar benar-benar ikhlas dari dalam hati menurut pandangan filsafat?” Prof. Marsigit kemudian menjawab pertanyaan ini dari sisi filsafat dan bukan dari sisi agama atau psikologi. Filsafat memang hampir mendekati spiritual, namun bukanlah ilmu spiritual. Tips-tips untuk menggapai keikhlasan hati sebenarnya dapat dibaca di blog Prog Marsigit dalam artikel elegi ritual ikhlas 1 sampai 45. Menurut Prof. Marsigit, sebenarnya semua ilmu di dunia ini memiliki guru masing-masing. Spiritual memiliki guru dan filsafat juga memiliki guru. Guru filsafat hanya bersifat short term dan medium term karena guru filsafat hanya memberikan pengetahuan sebatas ruang dan waktu yang sudah ditentukan. Berbeda dengan guru spiritual yang akan memberikan pengetahuan sampai selama-lamanya sehingga guru spiritual bersifat long term karena menuntun manusia selama di dunia agar dapat juga selamat di akhirat. Tidak hanya manusia dan ilmunya saja yang memiliki guru, Rasullullah juga memiliki guru, yaitu Malaikat Jibril. Dari hal ini dapat kita lihat bahwa guru membantu manusia untuk ikhlas dalam berpikir dan bertingkah laku atas kuasa dari Allah SWT. Prof. Marsigit menegaskan bahwa ikhlas hati dan ikhlas pikir itu harus dilandasi dengan iman. Maka seorang hamba yang senantiasa meminta perlindungan dan petunjuk dari Allah, maka orang tersebut insya Allah akan dibersihkan hati dan pikirannya sehingga dapat berpikir dan merasakan keikhlasan dalam segala sesuatu. Keikhlasan itu hanya dapat dijelaskan hanya sekitar 20%, selebihnya tidak dapat dijelaskan dengan kalimat apapun. Sekali saja seseorang mengatakan ikhlas maka orang tersebut sudah tidak ikhlas lagi. Keikhlasan itu tidak meminta ketika memberi, tidak mengharapkan lebih dan senantiasa melakukan sesuatu untuk beribadah.

Pertanyaan selanjutnya yaitu mengenai bagaimana filsafat memaknai kebohongan. Dalam pandangan filsafat yang diuraikan oleh Prof. Marsigit, kebohongan adalah suatu kejujuran yang tidak sesuai ruang dan waktunya. Kebohongan itu sebenarnya tidak ada, sedangkan yang ada hanyalah seseorang yang mengatakan kejujuran dalam ruang dan waktu yang tidak sesuai. Kejujuran yang tidak sesuai dengan ruang dan waktu inilah yang dapat menyebabkan seseorang menjadi terlempar dari lingkungan pada ruang dan waktu tersebut. Oleh karena itu, ketika ada yang berbohong di suatu lingkungan tertentu maka ia akan dikucilkan dan tidak akan dipercayai lagi perkataannya. Hal ini menjadikan bahwa seseorang tersebut sudah terlempar dari lingkungan dalam ruang dan waktunya. Orang yang tidak sesuai dengan ruang dan waktu maka orang yang bodoh. Bohong itu juga berdimensi, ada yang bohong sedikit-sedikit, ada yang bohongnya banyak, ada bohong yang bijaksana dan lain-lain.

Selanjutnya ada pertanyaan mengenai apa perbedaan antara berpikir biasa dan berpikir filsafat. Prof. Marsigit menjawab bahwa berpikir filsafat itu berpikir secara intensif dan ekstensif, artinya sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya, dengan menggunakan bahasa analog, sedangkan berpikiran biasa itu berpikir secara tidak terstruktur. Misalnya tingkat berpikir anak-anak yang biasa-biasa saja dan belum mampu menggunakan bahasa analog.

Pertanyaan berikutnya yaitu “apakah jika kita hidup sesuai dengan hermeneutika hidup kita terjamin untuk bahagia?” Dalam hidup, kita hidup harus melengkapi syarat perlu dan syarat cukup. Lalu bagaimana untuk menggapai syarat perlu dan syarat cukup? Caranya adalah berpikir dan mencari pengalaman, karena kedua hal tersebut adalah guru terbaik. Selain itu, untuk menggapai kebahagiaan juga harus disesuaikan dengan ruang dan waktunya, seperti wadah sesuai dengan isinya, subyek sesuai dengan obyeknya, subyek sesuai dengan predikatnya, dan subyek sesuai dengan sifatnya.

Pertanyaan yang dilontarkan selanjutnya adalah “bagaimana kita menggapai pemikiran orang lain?” Menurut Prof. Marsigit, jika kita ingin menggapai pemikiran orang lain maka kita dapat menggunakan prinsip-prinsip umum berpikir atau epistemologi atau teori berpikir. Namun semua itu tergantung pada latar belakang setiap orang. Misalnya ada yang berlatar belakang kontemporer ada juga yang berlatar belakang kritisism.

Selanjutnya muncul pertanyaan mengenai bagaimana menggapai ikhtiar yang tidak dilandasi dengan nafsu. Nafsu sesungguhnya memiliki berbagai macam pengertian dan sumber. Namun menurut intuisi Prof. Marsigit terdapat dua macam nafsu, yaitu nafsu yang baik dan nafsu yang buruk. Nafsu yang baik dapat dimanfaatkan sebagai motivasi diri sendiri untuk memacu agar berikhtiar lebih baik lagi. Namun, manusia tidak terlepas dari sisi negatif karena memang sudah kodrat manusia akan melakukan kesalahan tanpa disadari atau tidak. Nafsu yang buruk itu yang akan membuat manusia terpuruk sehingga berikhtiar dengan cara yang tidak sehat, misalnya ingin menjatuhkan orang lain.

Berikutnya seorang mahasiswa bertanya mengenai bagaimana filsafat memaknai hal-hal ghaib. Hal-hal ghaib itu tidak dapat dijelaskan dengan kalimat. Namun hal ghaib itu dapat dipercaya bahwa hal ghaib memang diyakini ada keberadaannya. Misalnya seseorang percaya akan adanya hantu. Sebenar-benarnya hantu adalah subyektif. Oleh karena itu sebagai manusia yang diberikan akal dan pikiran yang sehat, maka kita harus melandasi dengan iman dan islam yang kuat agar dapat bertahan dari godaan syaiton, dan untuk menumbuhkan kedua hal tersebut maka kita dapat berdoa secara khusuk kepada Allah SWT.


Pertanyaan terakhir yaitu “bagaimana untuk melihat potensi pada seseorang?” Menurut Prof. Marsigit, potensi itu ada yang positif dan ada yang negatif. Potensi positif itu dapat sebagai motivasi bagi seseorang untuk tumbuh dan berkembang positif. Namun potensi yang negatif itu dapat membayakan seseorang karena dia dapat tumbuh dan berkembang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Untuk melihat potensi seseorang, maka orang tersebut harus diamati dan diarahkan agar potensi yang berkembang sesuai dengan yang diharapkan.