Tulisan ini merupakan refleksi dari perkuliahan filsafat ilmu dengan Prof. Marsigit pada tanggal 4 November 2015. Perkuliahan yang dimulai pada pukul 07.30 WIB di ruang PPG 1 Lab. FMIPA UNY
Di dalam filsafat, yang menjadi pokok
persoalan adalah mempelajari yang ada dan yang mungkin ada. Sifat-sifat
keduanya sangat banyak, bahkan bermilyar-milyar pangkat bermilyar-milyar pun
tidak mampu disebutkan oleh manusia karena keterbatasannya. Namun, keterbatasan
itulah yang menjadikan manusia menjadi hidup di dunia ini. Hidup manusia adalah
reduksionis. Contohnya orang yang ingin membuat akuarium dan rumah. Kedua orang
tersebut akan membutuhkan bahan-bahan yang berbeda. Orang yang akan membuat
akuarium, akan pergi ke toko akuarium untuk mebeli kaca, batu hias, lem, dsb.
Sedangkan orang yang akan membuat rumah akan pergi ke toko bangunan untuk
membeli semen, batu bata, pasir, dsb. Disadari atau tidak, hal-hal tersebut
merupakan kegiatan mereduksi yang dilakukan oleh manusia.
Kembali lagi ke yang ada dan yang mungkin ada, keduanya memiliki
banyak sifat. Misalnya bersifat tetap atau berubah. Tetap merupakan sifat yang
dikemukakan oleh Permenides, sedangkan berubah dikemukakan oleh Herachitos.
Kita ambil permisalan yang ada adalah segala hal di dunia, dimana hal-hal
tersebut dapat bersifat tetap namun bisa juga berubah. Contohnya, diri manusia.
Manusia yang kemarin, sekarang, ataupun esok hari bersifat tetap, yaitu tetap
merupakan ciptaan Tuhan YME dan tidak pernah akan berubah. Sedangkan, dalam
diri manusia pun terdapat perubahan, seperti usia, tinggi badan, tingkat
berpikir, dsb.
Yang ada dan yang mungkin ada pun dapat bersifat tunggal
atau mono dan dapat pula bersifat jamak atau plural. Aliran filsafat untuk yang
bersifat tunggal adalah monoisme, sedangkan aliran filsafat yang bersifat jamak
adalah pluralisme. Dalam mono, berdomisili para dewa, orang tua, abstrak.
Sedangkan dalam plural berdomisili para daksa, anak-anak, konkrit.
Yang tetap biasanya ada di dalam pikiran dan yang berubah
ada di luar pikiran. Yang di dalam pikiran disebut idealis dan filsafatnya
disebut idealisme. Sedangkan yang di luar disebut realis dan filsafatnya
disebut realisme. Idealisme merupakan aliran filsafat yang dikemukakan oleh
Plato, sedangkan realisme merupakan aliran filsafat yang dikemukakan oleh
Aristoteles.
Perjalanan filsafat dari zaman Yunani ke zaman modern membutuhkan
waktu panjang dari tahun 3000 SM sampai tahun 1671 M. Pada abad ke-13 sampai
ke-16, terjadi fase kegelapan dalam filsafat, yaitu munculnya pemikiran
dominasi kebenaran oleh gereja. Pada fase tersebut, siapapun tidak boleh
berbicara kebenaran kecuali orang-orang gereja, dan jika dilakukan maka orang
tersebut akan mendapat hukuman. Karena hal tersebut, maka timbulah kebangkitan
untuk membangkitkan filsafat lama. Adapun tokoh-tokohnya seperti Aristoteles dan
Plato. Dunia Timur atau Dunia Islam pun berjasa dalam menyelamatkan dokumen
Yunani Kuno dengan membawanya ke Timur setelah berperang dalam
pertempuran-pertempuran, seperti pertempuran salib. Namun, setelah Dunia Timur
kalah, dokumen tersebut ditemukan kembali oleh orang Dunia Barat dan dijadikan
sebagai modal lahirnya era modern.
Pada era modern, berkembanglah aliran filsafat rasionalisme
dan empirisisme. Filsafat rasionalisme dikemukakan oleh Rene Descartes yang
mengungkapkan bahwa ilmu itu bersifat analitik a priori atau dengan kata lain hanya
menggunakan pemikiran yang berisi intuisi, aksioma, postulat. Sedangkan,
filsafat empirisisme dikemukakan oleh David Hume yang menyatakan bahwa ilmu itu
bersifat sintesis a posteriori atau dengan kata lain hanya menggunakan pengalaman.
Kemudian, muncullah Immanuel Kant yang mengatakan bahwa sebenar-benar ilmu
adalah jika sintetik apriori, dimana ada pemikiran dan juga ada pengalaman.
Aliran Kant ini selanjutnya disebut Kantianisme.
Selanjutnya, muncul aliran Transendentalisme. Aliran ini
lahir karena adanya paham mengenai pemikiran pada dewa atau transenden. Menurutnya,
pikiran itu ada dunia atas, yaitu dunianya para transenden dan dunia bawah,
yaitu dunianya para daksa atau koresponden. Dunia bawah berdasarkan persepsi dan
kesadaran, sedangkan dunia atas berdasarkan imajinasi dan melahirkan sensasi. Dari
pemikiran tersebut, maka lahirlah yang namanya pengetahuan. Tak hanya itu, lahir
pula bentuk formal, logisism, dan koherentisme.
Waktu pun terus berlalu dan filsafat kemudian sampai di era
bendungan yang Prof. Marsigit sebut sebagai bendungan Comte. Auguste Comte
merupakan mahasiswa politeknik Perancis yang kemudian drop out dan membuat positivisme.
Intisarinya adalah yang konkrit dan jangan gunakan hal yang tidak masuk akal
seperti agama. Urutan dari yang terbawah mengenai cara memandang dunia menurut
aliran ini adalah agama, ilmu, filsafat, positif atau scientific. Salah satu
fenomena Comte adalah teknologi. Fenomena Comte ada yang makro dan ada yang
mikro. Contohnya orang tidak ke mesjid karena sibuk bermain smartphone.
Manusia itu memiliki dimensi. Urutan dimensi manusia dari
yang terbawah adalah archaic, tribal, tradisional, feodal, modern, postmodern,
dan powernow. Indonesia adalah negara yang masyarakatnya dan bahkan pemimpinnya
masih berada pada dimensi archaic, tribal, dan tradisional. Indonesia itu konteksnya
luas, namun negaranya kecil, ideologinya kecil, jati dirinya kecil atau bahkan
belum mempunyai jati diri. Setiap hari digempur habis-habisan oleh teknologi
dari Sang Powernow seperti Amerika, Inggris, Jepang, Tiongkok, dan Korea
Selatan. Tidak hanya itu, bahkan pendidikan di Indonesia sudah menganut
paham-paham kapitalisme, utilarian, materialisme, hedonisme, liberalisme, dsb.
Untuk menanggulanginya maka manusia membutuhkan filsafat.
Karena dalam belajar filsafat manusia harus menggunakan pikirannya sekritis
mungkin, namun harus pula menetapkan hatinya. Hal ini dikarenakan pikiran
manusia itu sangat rentan karena di dalamnya ada materi, formal, normatif, dan
spiritual. Dengan demikian, manusia dapat memilah secara cerdas dan tidak
menjadi bahan produk oleh powernow.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar