Selasa, 24 November 2015

Jawaban-jawaban Filsafat - Refleksi Filsafat Ilmu

Tulisan ini merupakan refleksi dari perkuliahan filsafat ilmu dengan Prof. Marsigit pada tanggal 18 November 2015. Perkuliahan yang dimulai pada pukul 07.30 WIB di ruang PPG 1 Lab. FMIPA UNY diawali dengan tes jawab singkat. bertemakan spiritualisme, materialisme, dan formalitas dari rumus.

Setelah itu, perkuliahan dilanjutkan kembali dengan tanya jawab. Ada beberapa pertanyaan yang diajukan dalam forum tersebut. Pertanyaan pertama diajukan oleh saudara Edi Wahyudi. Ia menanyakan mengenai etnomatematika. Kemudian Prof. Marsigit menjawab bahwa etnomatematika itu adalah pembelajaran matematika berbasis budaya. Etnomatematika  merupakan pembelajaran inovatif yang dapat memperkaya fondasi pendidikan matematika serta harus berorientasi pada siswa. Jika gurunya otoriter dan berpikir untuk memberikan ilmu sebanyak-banyaknya, maka tidak akan bisa dilaksanakan dan harus ada perubahan mindset dalam diri guru.

Pertanyaan selanjutnya diajukan oleh Rusi Ulfa. Pertanyaan yang diajukan yaitu mengenai bagaimana hubungan antara mitos dan stigma. Prof. Marsigit pun menjawab bahwa riwayatnya manusia lahir sudah ada mitos. Mitos itu yang mestinya dipikirkan tetapi tidak dipikirkan. Misalnya kalau zaman dulu bidadari turun ke bumi dari langit bentuknya adalah pelangi, jadi menurut orang Yunani Kuno pelangi adalah jembatan, namun setelah dibuktikan bahwa pelangi merupakan pembiasan sinar melalui air atau uap air, mitos tersebut berubah menjadi ilmu pengetahuan. Setiap hari kita mengalami mitos, tetapi jika kita memikirkan mitos menjadi pengetahuan, mitos akan berubah menjadi logos. Mitos bersifat relatif bukan absolut. Orang yang merasa sudah jelas akan suatu hal akan terancam oleh mitos karena ia berhenti. Mitos itu sifatnya bermilyar-milyar. Kadang-kadang orang menjadikan mitos sebagai terminal mencari solusi sementara. Seperti gerhana bulan karena dimakan raksasa. Agama bukan mitos karena tidak perlu dipikirkan, misalnya berdoa sampai khusuk, tetapi gama bisa berubah menjadi mitos. Seperti memunda shalat karena pekerjaan. Di dalam doa tidak dipikirkan pun sudah merupakan ibadah. Ternyata hidup kita ini adalah interaksi antara mitos dan logos. Setengah logos, setengah mitos, anehnya kalau setengah + setengah = 1 dalam matematika. Kalau dalam filsafat setengah logos + setengah mitos + setengah iman dan keyakinan. Kalau anda hanya vatal saja, hanya berserah diri saja, itu adalah setengahnya dunia, dan setengah dunia yang lain berikhtiar. Mitos itu adalah karena ketidakpahaman dimensi yang berbeda memahami dimensi yang lebih atas. Kalau kita tidak paham ruang dan waktu, kita akan menjadi orang yang bodoh.

Selanjutnya, pertanyaan datang dari saudari Anissa. Pertanyaannya adalah apa perbedaan skeptisime dan pyrrhonisme. Menurut Prof. Marsigit, itu suatu rangkaian hanya beda zaman. Jadi, filsafat itu aliran pikiran para filsuf itu pikirannya mengalir begitu saja, seperti hermeneutika. Hermenetika itu filsafat kontemporer namun fenomenanya sudah ada sejak zaman dulu. Jadi orang ragu-ragu itu sudah ada sejak zaman Yunani kemudian diekspos oleh Rene D karena tidak mampu membedakan mimpi dan kenyataan. Inti sarinya meragukan yang ada dan yang mungkin ada dan mencari kepastian apa yang pasti termasuk agama pun diragukan. Hermeneutika itu saya tambahkan ada dialektika. Hati-hati juga karena filsafat ada juga batasnya.

Setelah itu, saudara Anwaril mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan pertanyaan sebelumnya. Pertanyaan yang diajukan yaitu apakah hermeneutika boleh kita terapkan dalam konteks agama. Prof. Marsigit pun menjawab bahwa semuanya itu tergantung ruang dan waktu, konteksnya. Prof. Marsigit pun ketika mendefinisikan hermeneutika ada perkembangannya, karena adanya pertambahan pengalaman. Hidup itu fenomenanya lengkap, pilarnya menukik, regular atau rutinitas, mengembang. Orang barat itu linear, hanya menerjang saja sampai dimanapun akan dikejar, maka bijaksana orang barat itu adalah orang yang mencari sampai kemanapun. Namun hidup itu tidak seperti itu, hidup itu adalah rutinitas, selasa ketemu selasa, rabu ketemu rabu, gambarnya kurva seperti spiral namun tetap, itu tempat kita mensyukuri karunia Tuhan. Hidup itu perlu di bangun membangun yang ada dan yang mungkin ada. Jadi, kadang-kadang kita tidak sadar sedang membangun metode hermeneutika. Membangun yang berhasil adalah tetap dan kontinu. Penyakit manusia itu penyakit parsial, karena manusia terbatas dan tidak sempurna.


Pertanyaan terakhir datang dari saudari Diana. Pertanyaannya adalah apa hubungan pantheisme sama theisme. Jawaban dari Prof. Marsigit yaitu theisme itu percaya pada Tuhan kalau pantheisme itu Tuhannya satu. Orang jepang memiliki Tuhan yang banyak, ada Tuhan laut, Tuhan gunung, dsb. Tapi kita juga sesungguhnya tidak menyadari sudah mempunyai Tuhan yang banyak, Tuhan mobil, Tuhan uang, dsb. Secara psikologi, sesuatu yang disukai secara berlebihan menjadi Tuhan. Materialisme adalah aliran yang tidak percaya Tuhan. Dia berusaha ekstrim, belajar dari fenomena alam dan berhenti pada fenomena alam, maka materialisme hakekat kebenarannya ada di dalam materi. 

Senin, 23 November 2015

Auguste Comte dan Fenomenanya - Refleksi Filsafat Ilmu

Isidore Marie Auguste François Xavier Comte atau biasa disebut Auguste Comte, adalah seorang filsuf Perancis yang dikenal karena memperkenalkan bidang ilmu sosiologi serta aliran positivisme.

Positivisme secara etimologi berasal dari kata positive, yang dalam bahasa filsafat bermakna sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi, yang dapat dialami sebagai suatu realita. Ini berarti, apa yang disebut sebagai positif bertentangan dengan apa yang hanya ada di dalam angan-angan (impian), atau terdiri dari apa yang hanya merupakan konstruksi atas kreasi kemampuan untuk berpikir dari akal manusia.

Pada dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme. Dengan kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah (scientific method) dengan memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran. Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti empiris yang terukur.

Aliran positivisme Comte sudah sangat merakyat dalam kehidupan manusia, termasuk dalam dunia pendidikan khususnya di Indonesia. Pada tahun 2013, pemerintah meluncurkan sebuah kurikulum baru untuk menggantikan KTSP yaitu kurikulum 2013. Dalam K-13, siswa dinilai dari tiga aspek yaitu aspek pengetahuan, aspek keterampilan, serta aspek sikap dan perilaku. Sedangkan, untuk kegiatan pembelajarannya diharuskan menggunakan pendekatan saintifik.

Pendekatan saintifik dipilih karena diyakini sebagai titian emas perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik. Pendekatan saintifik sendiri merupakan suatu pendekatan yang diadaptasi dari langkah-langkah ilmiah pada sains. Pendekatan ini lebih mengedepankan penalaran induktif dibandingkan dengan penalaran deduktif. Penalaran induktif memandang fenomena atau situasi spesifik untuk kemudian menarik simpulan secara keseluruhan, sedangkan penalaran deduktif melihat fenomena umum untuk kemudian menarik simpulan yang spesifik. Menurut Permendikbud Nomor 81 A Tahun 2013 lampiran IV, proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan saintifik terdiri atas lima pengalaman belajar pokok yaitu mengamati, menanya, mengumpulkan informasi/eksperimen, mengasosiasikan/mengolah informasi, dan mengkomunikasikan.

Sebetulnya, pembelajaran dengan pendekatan saintifik ini cukup bagus jika dilihat dari sudut pandang bahwa siswa dengan difasilitasi oleh guru, harus membentuk atau membangun pengetahuannya sendiri dengan adanya kegiatan eksperimen. Namun sayangnya, pendekatan ini tidak memberikan keleluasaan siswa untuk berimajinasi dalam pembelajaran, padahal kadang kala imajinasi justru dapat membantu siswa untuk memperkuat pemahamannya. Tidak hanya itu, banyak materi pelajaran yang nampaknya cukup sulit untuk dipelajari dengan pendekatan saintifik, seperti misalnya matematika formal yang bersifat abstrak. Selain materi, beberapa mata pelajaran pun tidak cocok dengan pendekatan ini terutama ilmu-ilmu sosial seperti bahasa, agama, kewarganegaraan, dsb.

Banyaknya kelemahan dalam K-13 kemudian membuat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, memberhentikan sementara pelaksanaan K-13. Hal ini dilakukan untuk mengevaluasi kembali K-13. Semoga setelah langkah pemberhentian dan pengevaluasian ini dilakukan pemerintah, ke depannya Indonesia akan memiliki suatu sistem pendidikan atau kurikulum yang dapat merangkul semua aspek pendidikan, baik siswa, guru, ataupun semua mata pelajaran, dan tentunya juga dapat meningkatkan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia yang selama ini sudah terkikis.


Sumber:

http://blogkilas.blogspot.co.id/2013/12/pengertian-positivisme.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Kurikulum_2013
https://id.wikipedia.org/wiki/Pendekatan_saintifik

Selasa, 17 November 2015

Teknopoli – Refleksi Filsafat Ilmu

Tulisan ini merupakan refleksi dari perkuliahan filsafat ilmu dengan Prof. Marsigit pada tanggal 11 November 2015. Perkuliahan dimulai pada pukul 07.30 WIB di ruang PPG 1 Lab. FMIPA UNY.

Pada pertemuan minggu ke-7, Prof. Marsigit mempersilahkan kami untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Namun karena tidak ada yang dengan sukarela bertanya, maka Prof. Marsigit pun memanggil nama kami secara acak. Jumlah pertanyaan pada pertemuan kali ini adalah sebanyak 3 pertanyaan. Namun dari ketiga pertanyaan, saya cukup tertarik dengan pertanyaan mengenai bagaimana cara menyikapi powernow.

Powernow merupakan negara yang memiliki kekuasaan dan pengaruh yang sangat besar di dunia ini. Kekuasaan dan pengaruhnya pun sampai di negara kita, Indonesia. Salah satu pengaruhnya adalah dalam bidang teknologi. Saat ini, dapat dikatakan teknologi bagaikan majikan bagi manusia. Contoh sederhananya adalah handphone. Coba saja perhatikan, saat ini orang dewasa mana yang tidak memiliki handphone. Bahkan bukan hanya orang dewasa saja, anak-anak pun sudah banyak yang memiliki handphone.

Fenomena-fenomena semacam ini dinamakan teknopoli. Teknopoli merupakan sebuah istilah yang diciptakan oleh Neil Postman yang merupakan gabungan dari dua istilah, yaitu teknologi dan monopoli. Teknopoli bermakna pemonopolian teknologi atau dominasi teknologi dalam kehidupan manusia. Dalam mukadimah buku Technopoly Postman menjelaskan bahwa teknologi telah menghapuskan esensi akhlak dari budaya masyarakat. Teknologi juga menghancurkan hubungan antara jiwa dan pemikiran manusia yang pada hakikatnya merupakan nilai-nilai pokok kehidupan manusia. Atau dapat dikatakan bahwa budaya sudah menyerah di bawah telapak kaki teknologi.

Menurut Prof. Marsigit, fenomena teknopoli ini menyebabkan manusia dapat memanipulasi budaya baru demi kepentingannya dan sesuai dengan harkat serta martabat hedonisme. Contohnya saja acara Smackdown yang dahulu hanya diperuntukan bagi laki-laki, kini ada acara Smackdown yang diperuntukan bagi perempuan. Tidak hanya di luar negeri, Indonesia pun demikian. Seperti misalnya batik. Dahulu batik merupakan karya seni namun saat ini batik merupakan karya jual. Tidak hanya itu, tarian Bali yang dahulu digunakan untuk ritual, sekarang digunakan untuk menarik wisatawan.

Selain itu, teknopoli juga dapat menyebabkan merosoknya budi pekerti manusia. MUI pun menyatakan bahwa Indonesia sedang darurat budi pekerti. Hal ini tercermin dari banyaknya kasus-kasus seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Bahkan, Menteri Agama Indonesia pun sudah merasakan bagaimana rasanya memakai kostum oranye ala KPK.


Namun di lain sisi, kita tidak bisa menyalahkan begitu saja teknologi. Disadari atau tidak, setiap hari kita bergelut dengannya. Bahkan kita pun mendapatkan keuntungan darinya. Seperti lebih mudah untuk berkomunikasi, lebih mudah dalam pekerjaan, dan lain sebagainya. Maka untuk menyikapi pengaruh-pengaruh ini, yang dapat kita lakukan adalah berbenah diri. Jangan sampai kita menjadi obyek teknologi namun cobalah untuk menjadi subyek teknologi dan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.

Minggu, 15 November 2015

Sejarah dan Beberapa Aliran Filsafat - Refleksi Filsafat Ilmu

Tulisan ini merupakan refleksi dari perkuliahan filsafat ilmu dengan Prof. Marsigit pada tanggal 4 November 2015. Perkuliahan yang dimulai pada pukul 07.30 WIB di ruang PPG 1 Lab. FMIPA UNY


Di dalam filsafat, yang menjadi pokok persoalan adalah mempelajari yang ada dan yang mungkin ada. Sifat-sifat keduanya sangat banyak, bahkan bermilyar-milyar pangkat bermilyar-milyar pun tidak mampu disebutkan oleh manusia karena keterbatasannya. Namun, keterbatasan itulah yang menjadikan manusia menjadi hidup di dunia ini. Hidup manusia adalah reduksionis. Contohnya orang yang ingin membuat akuarium dan rumah. Kedua orang tersebut akan membutuhkan bahan-bahan yang berbeda. Orang yang akan membuat akuarium, akan pergi ke toko akuarium untuk mebeli kaca, batu hias, lem, dsb. Sedangkan orang yang akan membuat rumah akan pergi ke toko bangunan untuk membeli semen, batu bata, pasir, dsb. Disadari atau tidak, hal-hal tersebut merupakan kegiatan mereduksi yang dilakukan oleh manusia.

Kembali lagi ke yang ada dan yang mungkin ada, keduanya memiliki banyak sifat. Misalnya bersifat tetap atau berubah. Tetap merupakan sifat yang dikemukakan oleh Permenides, sedangkan berubah dikemukakan oleh Herachitos. Kita ambil permisalan yang ada adalah segala hal di dunia, dimana hal-hal tersebut dapat bersifat tetap namun bisa juga berubah. Contohnya, diri manusia. Manusia yang kemarin, sekarang, ataupun esok hari bersifat tetap, yaitu tetap merupakan ciptaan Tuhan YME dan tidak pernah akan berubah. Sedangkan, dalam diri manusia pun terdapat perubahan, seperti usia, tinggi badan, tingkat berpikir, dsb.

Yang ada dan yang mungkin ada pun dapat bersifat tunggal atau mono dan dapat pula bersifat jamak atau plural. Aliran filsafat untuk yang bersifat tunggal adalah monoisme, sedangkan aliran filsafat yang bersifat jamak adalah pluralisme. Dalam mono, berdomisili para dewa, orang tua, abstrak. Sedangkan dalam plural berdomisili para daksa, anak-anak, konkrit.

Yang tetap biasanya ada di dalam pikiran dan yang berubah ada di luar pikiran. Yang di dalam pikiran disebut idealis dan filsafatnya disebut idealisme. Sedangkan yang di luar disebut realis dan filsafatnya disebut realisme. Idealisme merupakan aliran filsafat yang dikemukakan oleh Plato, sedangkan realisme merupakan aliran filsafat yang dikemukakan oleh Aristoteles.

Perjalanan filsafat dari zaman Yunani ke zaman modern membutuhkan waktu panjang dari tahun 3000 SM sampai tahun 1671 M. Pada abad ke-13 sampai ke-16, terjadi fase kegelapan dalam filsafat, yaitu munculnya pemikiran dominasi kebenaran oleh gereja. Pada fase tersebut, siapapun tidak boleh berbicara kebenaran kecuali orang-orang gereja, dan jika dilakukan maka orang tersebut akan mendapat hukuman. Karena hal tersebut, maka timbulah kebangkitan untuk membangkitkan filsafat lama. Adapun tokoh-tokohnya seperti Aristoteles dan Plato. Dunia Timur atau Dunia Islam pun berjasa dalam menyelamatkan dokumen Yunani Kuno dengan membawanya ke Timur setelah berperang dalam pertempuran-pertempuran, seperti pertempuran salib. Namun, setelah Dunia Timur kalah, dokumen tersebut ditemukan kembali oleh orang Dunia Barat dan dijadikan sebagai modal lahirnya era modern.

Pada era modern, berkembanglah aliran filsafat rasionalisme dan empirisisme. Filsafat rasionalisme dikemukakan oleh Rene Descartes yang mengungkapkan bahwa ilmu itu bersifat analitik a priori atau dengan kata lain hanya menggunakan pemikiran yang berisi intuisi, aksioma, postulat. Sedangkan, filsafat empirisisme dikemukakan oleh David Hume yang menyatakan bahwa ilmu itu bersifat sintesis a posteriori atau dengan kata lain hanya menggunakan pengalaman. Kemudian, muncullah Immanuel Kant yang mengatakan bahwa sebenar-benar ilmu adalah jika sintetik apriori, dimana ada pemikiran dan juga ada pengalaman. Aliran Kant ini selanjutnya disebut Kantianisme.

Selanjutnya, muncul aliran Transendentalisme. Aliran ini lahir karena adanya paham mengenai pemikiran pada dewa atau transenden. Menurutnya, pikiran itu ada dunia atas, yaitu dunianya para transenden dan dunia bawah, yaitu dunianya para daksa atau koresponden. Dunia bawah berdasarkan persepsi dan kesadaran, sedangkan dunia atas berdasarkan imajinasi dan melahirkan sensasi. Dari pemikiran tersebut, maka lahirlah yang namanya pengetahuan. Tak hanya itu, lahir pula bentuk formal, logisism, dan koherentisme.


Waktu pun terus berlalu dan filsafat kemudian sampai di era bendungan yang Prof. Marsigit sebut sebagai bendungan Comte. Auguste Comte merupakan mahasiswa politeknik Perancis yang kemudian drop out dan membuat positivisme. Intisarinya adalah yang konkrit dan jangan gunakan hal yang tidak masuk akal seperti agama. Urutan dari yang terbawah mengenai cara memandang dunia menurut aliran ini adalah agama, ilmu, filsafat, positif atau scientific. Salah satu fenomena Comte adalah teknologi. Fenomena Comte ada yang makro dan ada yang mikro. Contohnya orang tidak ke mesjid karena sibuk bermain smartphone.

Manusia itu memiliki dimensi. Urutan dimensi manusia dari yang terbawah adalah archaic, tribal, tradisional, feodal, modern, postmodern, dan powernow. Indonesia adalah negara yang masyarakatnya dan bahkan pemimpinnya masih berada pada dimensi archaic, tribal, dan tradisional. Indonesia itu konteksnya luas, namun negaranya kecil, ideologinya kecil, jati dirinya kecil atau bahkan belum mempunyai jati diri. Setiap hari digempur habis-habisan oleh teknologi dari Sang Powernow seperti Amerika, Inggris, Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan. Tidak hanya itu, bahkan pendidikan di Indonesia sudah menganut paham-paham kapitalisme, utilarian, materialisme, hedonisme, liberalisme, dsb.


Untuk menanggulanginya maka manusia membutuhkan filsafat. Karena dalam belajar filsafat manusia harus menggunakan pikirannya sekritis mungkin, namun harus pula menetapkan hatinya. Hal ini dikarenakan pikiran manusia itu sangat rentan karena di dalamnya ada materi, formal, normatif, dan spiritual. Dengan demikian, manusia dapat memilah secara cerdas dan tidak menjadi bahan produk oleh powernow.

Selasa, 03 November 2015

Sopan Santun dalam Filsafat - Refleksi Filsafat Ilmu



Tulisan ini merupakan refleksi dari perkuliahan filsafat ilmu dengan Prof. Marsigit pada tanggal 21 dan 28 Oktober 2015.

Perkuliahan yang dimulai pada pukul 07.30 WIB di ruang PPG 1 Lab. FMIPA UNY diawali dengan tes jawab singkat. Pada tanggal 21 Oktober 2015, tes yang dilakukan bertemakan wadah dan isi. Sedangkan untuk tanggal 28 Oktober 2015, tes yang dilakukan bertemakan spiritualisme, materialisme, dan formalitas.
Setelah itu, perkuliahan dilanjutkan kembali dengan tanya jawab. Ada beberapa pertanyaan yang diajukan oleh kami dalam forum tersebut, dan dari pertanyaan-pertanyaan tersebut ada satu keterkaitan antara jawaban Prof. Marsigit terhadap pertanyaan yang diajukan pada tanggal 21 Oktober 2015 dan pada tanggal 28 Oktober 2015 yaitu mengenai sopan santun dalam berfilsafat.
Pertanyaan pertama diajukan oleh Rusi Ulfa pada tanggal 21 Oktober 2015. Ia menanyakan mengenai apakah dalam filsafat ada yang membahas mengenai salah pengambilan keputusan. Kemudian Prof. Marsigit menjawab bahwa salah atau benar itu hanya satu titik kecil dalam filsafat dan perhatiannya juga ada tapi bukan satu-satunya. Benar dan salah itu sebanyak pikiran para filsuf sebagai nilai dan pedoman. Benar dan salah juga merupakan hal yang ada dan hal yang mungkin ada yang menjadi kajian filsafat. Salah dalam filsafat adalah tidak sesuai dengan ruang dan waktu. Kita harus adil terhadap yang ada dan yang mungkin ada sesampai dengan pikiran kita. Jadi, salah memutuskan adalah tidak sopan terhadap ruang dan waktunya yang ada dan yang mungkin ada.

Selanjutnya pada tanggal 28 Oktober 2015, pertanyaan diajukan oleh Tria Utari yang menanyakan mengenai bijak pada diri seseorang. Prof. Marsigit kemudian menjawab bahwa bijak itu adalah diriku sesuai dengan ruang dan waktu. Menurut filsafat barat, sebenar-benarnya bijak adalah pengetahuan itu sendiri. Namun filsafat timur kemudian menambahkan bahwa bijak pun harus disertai hati nurani. Seseorang yang bijak berarti seseorang yang sopan terhadap ruang dan waktu. Sopan terhadap ruang dan waktu itu adalah pengetahuan, karena seseorang tidak akan bisa berlaku sopan tanpa mengetahui terlebih dahulu, seperti orang yang ingin bersopan santun di jalan raya haruslah mengetahui aturan-aturan lalu lintas terlebih dahulu.

Mendengar jawaban yang diberikan Prof. Marsigit, saya kembali bertanya “apakah saya sudah memiliki sopan santun terhadap ruang dan waktu?”. Jawabannya belum dapat saya temukan hingga tulisan ini diterbitkan. Jika saya menjawab ya maka belum tentu orang lain yang melihat saya pun menjawab iya dan begitupun jika saya menjawab tidak. Karena yang dapat menilai diri kita itu sesungguhnya adalah orang lain, seperti yang pernah dikatakan Prof. Marsigit bahwa filsuf hebat pun tidak pernah merasa menjadi filsuf tetapi orang lain lah yang menyatakan bahwa ia adalah filsuf hebat.